Ide mengungkap misteri rumah Gurita memang dilontarkan Baban hari Minggu
(1/2) lalu usai meliput ekspos kasus kejahatan jalanan selama 10 hari
di Polresta Bandung Barat. Mantan aktivis kampus yang fotonya pernah
nampang di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar) tahun 2003 silam
itu mengaku penasaran dengan keberadaan rumah gurita. Konon,
berdasarkan hasil pencariannya di sejumlah blog, rumah tersebut
terbilang angker.
Bahkan, ada juga yang menyebut rumah gurita sebagai tempat ibadah aliran
sesat. “Kang, saya besok menulusuri rumah gurita. Kantor sudah setuju.
Akang mau ikut?” ajak Baban. Penasaran dengan cerita misteri di balik
rumah gurita, aku pun mengamini ajakannya. “Saya pagi-pagi kang.
Bagusnya jam berapa?” tanya Baban mempertimbangkan waktu. “Bagusnya jam 9
aja Ban. Kalau jam 8, saya nganter anak dulu,” jawabku diiyakan Baban.
“Besok kita kontak-kontak lagi,” ujar Baban.
Tadi pagi, pukul 08.00 WIB aku mengontak Baban, memastikan waktu dan
tempat janjian. Baban memberi usul agar kita bertemu di Gedung Sate,
tepatnya di sekitar bakso Cuankie tempat biasa mangkal kawan-kawan
wartawan. Aku menyepakatinya. Setelah mengantar anak ke TK, aku langsung
menyalakan motor dan meluncur ke Gedung Sate. Sial, gara-gara terjebak
macet di kawasan Samsat perempatan Soekarno-Hatta, aku terlambat 10
menit tiba di Gedung Sate.
Baban sudah menunggu. Sejenak mengisap rokok, kami akhirnya berangkat
karena khawatir hujan keburu turun. Benar saja, baru saja beranjak hujan
sudah mengguyur. Tidak begitu deras memang, tapi cukup mengganggu.
Sedikit kuyup, kami tiba di Komplek Perumahan Sukadamai tidak jauh dari
Hotel Grand Aquila. Tanpa mengalami banyak kesulitan, kami sampai di
seberang rumah tersebut. Sepi. Tak ada aktivitas di rumah megah namun
terlihat tak terurus itu.
Baban mengeluarkan kamera HP, aku mengikuti langkahnya. Setelah
mengambil beberapa gambar rumah gurita dari depan, kami bertanya pada
seorang ibu yang sedang menyapu mengenai riwayat rumah tersebut. Tidak
banyak data yang diperoleh. Ia hanya mengatakan, rumah gurita tersebut
berada di belakang rumah di Jalan Sukadamai No 6 dan 47. Sementara pintu
masuknya dari rumah No 6. Ibu itu lantas menyarankan kami bertanya
kepada pemilik kios, tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Sebelum beranjak, kami memperhatikan terlebih dulu detail rumah itu.
Disebut rumah gurita, karena di atas rumah bertengger patung gurita
menutupi hampir seluruh atapnya. Patung gurita itu berwarna gelap,
sangat kontras dengan dinding rumah yang berwarna putih kusam. Bisa
terlihat dari kejauhan, karena bentuk rumahnya yang megah dan tinggi,
lebih tinggi dari rumah utama. Dua buah kaca besar bergambar kartu King
dan Queen sekop, menghiasi bagian depan rumah tersebut. Di sebelah kaca
utama terdapat gambar lelaki berjanggut.
Tak jauh dari situ, terpasang lagi dua kaca yang masih bergambar
kartu King dan Queen,
kali ini dalam ukuran lebih kecil. Kaca bergambar kartu King dan Queen
itu dikelilingi lukisan 8 wajah, 6 di atas dan 2 di bawah. Entah lukisan
wajah siapa yang terpasang di kaca itu. Yang jelas, lukisan
masing-masing wajah berbeda satu sama lain. Tidak hanya bisa dilihat
dari Jalan Sukadamai, rumah gurita juga bisa dilihat dari Jalan
Sukagalih. Dari sana, terlihat bagian belakang rumah dan patung gurita
yang lebih jelas. Sementara dari Jalan Cipedes Selatan, terlihat bagian
kaca pinggir rumah bergambar orang sedang menaiki kereta kuda.
“Rumah itu kepunyaan Pak Frans. Tapi orangnya jarang datang. Kalau tidak
salah, sebelum Hotel Grand Aquilla dibangun, rumah itu sudah ada,” kata
Yana, 37, pemilik kios yang ditunjukkan ibu tadi. Menurut Yana, karena
bentuknya yang aneh, banyak orang yang bertanya-tanya mengenai rumah
tersebut. “Banyak yang datang. Terus nanya yang aneh-aneh. Katanya
dibilang rumah setan. Tapi, sejak saya buka kios tahun 1991, belum
pernah ada sekelompok orang datang ke rumah itu,” kata Yana.
Sebelum berbincang, kami memesan dua gelas kopi. Visto, 40, seorang
house keeping Hotel Grand Aquilla yang kebetulan sedang berada di kios
mengatakan, rumah tersebut memang menjadi perhatian banyak orang,
terutama warga luar Bandung. “Warga Jakarta banyak yang sengaja menginap
di Hotel Aquilla untuk melihat rumah gurita. Mereka nanya keberadaan
rumah itu,” katanya. Cukup lama kami berbincang dengan Yana dan Visto.
Namun, misteri rumah gurita itu sama sekali belum terbuka. Baik Yana
maupun Visto mengaku hanya mendengar selentingan saja mengenai
keberadaan rumah tersebut. Akhirnya, kami memutuskan mendatangi rumah
Jalan Sukadamai No 6 yang disebut satu-satunya pintu masuk rumah gurita.
Hujan masih terus mengguyur dan kopi pun sudah habis diminum.
Tepat di depan rumah Jalan Sukadamai No 6 kami berhenti. Aku menekan bel
yang terpasang di tembok sebelah kanan pagar. Baban berteriak
mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi Baban berteriak dan kali
ini pintu garasi terbuka. Seorang lelaki tua keluar menyapa kami dari
balik pagar. Ia tidak mau membuka pagar. “Kami wartawan pak, mau
tanya-tanya soal rumah gurita,” aku membuka pembicaraan. Baban
menimpali. “Iya pak, mungkin kita bisa masuk melihat-lihat rumah,” kata
Baban. Lelaki itu menolak dengan halus.
Dia mengaku tidak bisa mengizinkan kami masuk karena pemilik rumah
sedang tidak ada. “Kebetulan yang punya rumah tidak ada,” jawab lelaki
itu. Pintu pagar masih tertutup rapat. “Ga apa-apa pak, kami mengerti.
Bisa ngobrol sebentar? Kita mau tahu soal rumah itu, sekalian meluruskan
isu yang beredar tentang adanya kegiatan ajaran sesat di rumah itu,”
kata Baban. “Ah, tidak benar. Memang, saya juga dengar kalau rumah ini
ramai dibicarakan di internet. Katanya rumah setan lah, atau angker.
Tapi semua tidak benar,” jawab lelaki berambut pendek itu.
Menurut dia, rumah tersebut memang milik Frans. Dulu, kata dia, Frans
berprofesi sebagai pelaut. Itulah alasannya, kenapa di rumah tersebut
bertengger patung gurita. “Pak Frans itu pelaut dan lebih banyak
menghabiskan waktu di lepas pantai. Patung gurita itu dibangun menutupi
rumah karena beliau senang gurita. Selain gurita juga ada patung ular,
dan kumang,” terang lelaki itu. Lelaki itu menambahkan, patung gurita
itu juga berfungsi sebagai tempat makan. “Kalau ada acara, Pak Frans dan
teman-temannya, berkumpul di bawah patung gurita itu,” katanya.
Di tengah pembicaraan, seorang lelaki lagi, kali ini tampak berusia
lebih tua, keluar dari garasi. Ia memperhatikan kami bertiga namun tidak
mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sejenak, ia kembali masuk. Tak
berapa lama kemudian, lelaki yang berbincang dengan kami dipanggil
masuk. “Wah sial, kita tak sempat menanyakan namanya,” sesal Baban. “Iya
Ban, soalnya keburu dipanggil masuk,” jawabku. Karena belum sempat
pamit dan menutup pembicaraan, kami berharap lelaki itu keluar lagi. Aku
bergeser agak menjauhi Baban, kembali memperhatikan kondisi rumah.
Baban masih berada di depan pagar. Dari luar, aku mendengar percakapan
di dalam garasi. Namun tidak begitu jelas. “Wah Ban, kayaknya si bapak
tadi lagi diceramahin, gara-gara banyak ngomong,” ujarku. “Iya Kang,
sigana mah,” timpal Baban.
Kami masih menanti lelaki itu keluar lagi dan bisa melanjutkan
pembicaraan. Penantian berujung baik. Lelaki tadi keluar, kali ini
bersama tiga penghuni lainnya. Satu lelaki tua yang memperhatikan kami
tadi, dan dua wanita. Baban tersenyum, bermaksud mendekati lelaki tadi.
Di luar dugaan, lelaki tua itu marah. Dengan nada tinggi, dia meminta
kami pergi. Suaranya bergetar. Ia juga berusaha mendekati Baban. “Rek
naon deui ieu teh? Geus, euweuh nanaon!!” teriak lelaki tadi sambil
mendekati Baban dengan menaiki motor.
Kontan saja, sejumlah warga keluar
mengerumuni kami,
termasuk seorang pedagang kupat tahu yang sedang mangkal di depan
Kantor Pos Cabang Cipedes. Baban sedikit mundur. “Ngga Pak, sudah, kita
juga mau pulang,” kata Baban. Aku mendekati Baban dan berusaha
menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumah tersebut. “Kita kan sudah
tanya sama bapak, siapa yang bisa diajak bicara soal rumah gurita. Kalau
bapak keberatan tidak apa-apa,” aku mencoba menjelaskan. “Iya!! Tapi
semua tidak benar. Tidak ada apa-apa di rumah ini,” kata lelaki itu,
masih dengan nada tinggi. Tiga penghuni rumah lainnya berusaha
menenangkan. Bahkan, lelaki tua lain yang belakangan diketahui bernama
Adun, menyuruh temannya itu pergi. “Geus indit maneh!!” teriak dia.
Beberapa warga merangkul kami berdua agar menjauh dari rumah. Namun,
kami masih ingin menjelaskan maksud kedatangan ke rumah tersebut.
“Sebentar pak. Kita bukan ingin memperburuk keadaan, tapi justru ingin
meluruskan pemberitaan miring soal rumah gurita yang banyak dibahas di
internet,” kata Baban. Aku mengiyakannya. “Iya pak, kami juga datang ke
sini baik-baik dan meminta izin terlebih dulu. Jadi bapak tidak perlu
marah-marah,” aku menimpali omongan Baban. Lelaki itu tidak menjawab.
Wajahnya agak memerah. Napasnya juga tersengal-sengal.
Di atas motor, dia menatap kami. Penjelasan kami kemudian ditanggapi
oleh seorang wanita bernama Leni yang keluar bersama lelaki tadi.
“Silakan saja orang menilai macam-macam, itu hak mereka. Tapi tidak ada
apa-apa di sini. Ini hanya rumah biasa,” kata dia. Selang beberapa menit
kemudian, lelaki yang memarahi kami pergi. “Maaf, ibu penunggu rumah
ini,” tanyaku. “Iya, saya kerabatnya,” jawab dia. Aku dan Baban lantas
menyampaikan maaf jika dianggap mengganggu ketenangan penghuni rumah.
“Oke bu, kalau memang kami tidak bisa masuk, tidak apa-apa. Maaf kalau
kami mengganggu ketenangan ibu,” ujarku sekalian pamit. Kami bersalaman.
Ibu Leni pun mengucapkan maaf atas kejadian tadi dan menggembok pagar
rumah.
Sejenak, kami kemudian berbincang dengan warga. Niat memecahkan misteri
rumah gurita langsung dari sumbernya gagal. Baban mengajak pergi mencari
rumah RT setempat. Setelah bertanya kepada sejumlah warga, kami
menemukan rumah RT 5 RW 5 Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi.
Namanya Ibu Afnizar, 57. Dengan ramah, Afnizar menceritakan soal rumah
gurita tersebut. Menurut Afnizar, kabar di internet yang menyatakan di
dalam rumah gurita terdapat aktivitas sekte terlarang tidak dapat
dibuktikan. “Saya memang pernah mendapat kabar dari internet bahwa di
rumah tersebut ada sebuah sekte atau kelompok, tapi sepengetahuan saya
tidak ada aktivitas seperti di internet di tempat tersebut,” kata
Afnizar.
Dia lantas membuka buku data penghuni rumah di RT 5. Data itu
menyebutkan, pemilik rumah gurita bernama Frans Halimawan, 62, dan
istrinya bernama Leni Sudrajat. Afnizar menambahkan, selama ini, rumah
tersebut ditempati oleh tiga orang, dua perempuan dan seorang laki-laki.
“Selama ini yang saya kenal pemilik rumah cukup baik,” tutur Afnizar.
Afnizar kemudian mengatakan, pemilik rumah tersebut memang tinggal di
Jakarta bersama kedua anaknya masing-masing David dan Daniel. “Empat
tahun menjabat sebagai ketua RT, saya tidak pernah mendapatkan laporan
warganya terkait dengan isu yang beredar di internet tentang rumah
gurita,” kata dia. Pencarian data selesai. Setelah merasa cukup
mendapatkan data pelengkap, kami pamit. Meski tidak puas dengan hasil
liputan, kami tetap akan menuliskan misteri rumah gurita menjadi sebuah
berita lewat sumber-sumber lain. Siang itu pukul 12.00 WIB. Hujan masih
juga belum reda.
Melintasi Jalan Pasteur, butirannya kembali menerpa wajah kami. Hmmmm,
berusaha memecahkan misteri rumah gurita bersama Baban cukup
menyenangkan juga. Sama halnya saat dua tahun lalu berusaha memecahkan
misteri mobil wilis yang konon masih terkubur di Pasar Kosambi, juga
bersama seorang teman.